The Stag Loses Its Antler
It's been two months since Hendry had a stroke. He used to be the head family, even a figure who is authoritative and gallant in front of his extended family, now he cannot do anything and feel useless. Tomorrow is Chinese New Year, With high self-esteem and prestige, he did not want his extended family to see him in such a sad state. He also tried his best to show that he still can be useful and looks prime in front of his extended family.
-
Steven Austin GemilangDirector
-
Aristyo Abner HartonoWriter
-
Dorotheus Yoko ChondroProducer
-
Elkie KweeKey Cast"Hendry"
-
Carel Surya HermawanKey Cast"Nico"
-
Elsye ChenKey Cast"Lydia"
-
Project Title (Original Language):Rusa Jantan Yang Kehilangan Tanduknya
-
Project Type:Short
-
Runtime:17 minutes 56 seconds
-
Completion Date:June 23, 2023
-
Production Budget:1,800 USD
-
Country of Origin:Indonesia
-
Country of Filming:Indonesia
-
Language:Indonesian
-
Shooting Format:RED
-
Aspect Ratio:1.85:1
-
Film Color:Color
-
First-time Filmmaker:Yes
-
Student Project:Yes - Multimedia Nusantara University
Steven Austin Gemilang atau biasa dipanggil Steven lahir pada tanggal 6 November 2003, di Semarang, Indonesia. Melalui film-filmnya ia ingin membawakan suatu diskusi kepada penonton mengenai isu-isu yang terjadi di Indonesia dengan pendekatan yang personal dan dekat kepadanya. Sekarang, ia sedang berkuliah jurusan Film di Universitas Multimedia Nusantara. “Rusa Jantan yang Kehilangan Tanduknya” menjadi project mata kuliah di UMN ke-tiga yang ia sutradarai.
Steven Austin Gemilang’s Filmography
“Rusa Jantan yang Kehilangan Tanduknya (2023) - Director
“Kue Ulang Tahun” (2022) - Director
“Lautan Imajinasi” (2022) - Director, VFX Artist
“The Last Sunset” (2022) - VFX Supervisor
“Best Writer” (2020) - Producer
“Typing...” (2020) - Director
“Memulai Kembali” (2019) - Director
“Love or Lies” (2018) - Director
menjadi sosok yang kuat, berkuasa, bertanggung jawab, maskulin dan bisa
segalanya. Hal itu terkadang membuat seorang ayah harus mengejar sosok yang ideal itu
dengan apapun caranya untuk memiliki “harga diri”. Padahal menurut saya sendiri, ketika diri
kita tidak sesuai dengan yang dianggap ideal oleh lingkungan kita, adalah hal yang tidak
apa-apa. Jadilah diri kita sendiri yang sesungguhnya.
Kehilangan rasa harga diri itu juga bisa terjadi ketika ada suatu perubahan. Dimana
suatu perubahan itu bisa datang kapanpun, mau tidak mau, dan siap tidak siap diri kita. Ketika
perubahan ini adalah perubahan yang buruk, mungkin awalnya akan terasa sama sekali tidak
bisa kita terima. Apalagi perubahan drastis yang mengubah cara kita hidup maupun cara kita
berhubungan dengan orang lain. Tetapi janganlah menolak untuk menerima perubahan tersebut
karena kita dapat terjebak di rasa penyesalan, sedih, dan marah terhadap diri kita sendiri
maupun orang lain. Bahkan mungkin membuat hidup kita tidak bergerak dan malah semakin
jauh dari kebahagian yang sebenarnya kita inginkan.
Film ini menceritakan tentang isu post power syndrome yang dialami karakter Hendry.
Dimana akibat adanya perubahan fisik akibat mengalami penyakit stroke, Hendry mengalami
penurunan harga dirinya. Isu tersebut kami bawakan dari sisi maskulinitas yang fragile, dimana
Hendry dulunya adalah seorang kepala keluarga yang gagah, berwibawa, kuat, dan
bermaskulin, tetapi sekarang ia menjadi lemah dan tidak berdaya. Dengan tradisi keluarga
tionghoa, rumah Hendry akan dijadikan tempat berkumpul saudara-saudaranya. Ia juga
mengalami perubahan drastis dari yang dulu ia seorang kepala sekolah yang aktif, sekarang
keluar kamarnya saja sulit. Dulu dia yang membiayai keluarga nya, sekarang istrinya yang
harus menjadi tulang punggung. Akibatnya ia merasa kehilangan harga dirinya sebagai seorang
lepala keluarga.
Hendry dalam melewati perubahan fisik dan harga dirinya, akan melewati 5 stages of
grief, terutama di tahap denial, depression, hingga acceptance. Hendry perlu menerima
penyakit strokenya yang memang diluar kendalinya, supaya ia bisa menjadi lebih bahagia, dan
tidak menyalahkan diri sendirinya lagi. Namun memang perlu lebih banyak waktu untuk
menerima perubahan itu dibandingkan yang bisa ditunjukan di dalam film ini. Di akhir film ini
juga ditunjukkan bagaimana terkadang menerima perubahan itu tidak semudah itu dan grief
sebenarnya akan selalu melekat kepada diri kita. Dimana 5 stages of grief itu sendiri bisa
berjalan secara tidak linear dan tidak berurutan.